Minggu, 18 Oktober 2009

YANG PENTING TERTAWA


Kalau dipikir-pikir, jadi pegawai negeri itu sebenarnya nyesek juga. Apalagi kalau tak punya jabatan seperti Mas Karyo. Gaji satu bulan hanya pas buat biaya sekolah 2 anak, bayar listrik, cicilan rumah dan telepon. Nyaris tak ada sisa. Kasihan. Entah bagaimana caranya dia dan keluarganya masih bisa makan setiap hari? Wallahualam bi sawab, hanya Tuhan dan Mas Karyo yang tahu.

Mas Karyo hanya bisa pasrah. Ia jalani saja hidup ini dengan satu kesadaran bahwa segala sesuatu yang terjadi pada dirinya itu memang sudah diatur oleh Yang Maha Mengatur. Karena itu mengalir saja seperti air. ”Jadikan sabar dan sholat sebagai senjatamu dalam menghadapi hidup ini,” begitu nasehat Ustad Ahmad kepadanya.

Mas Karyo akan tersenyum jika ada orang atau teman yang mengolok-olok dirinya. Pegawai negeri itu hidupnya tak jauh dari lubang. Hari ini gali lubang, habis bulan tutup lubang. Hidup tak luput dari hutang. Bukan pegawai negeri namanya kalau tak punya hutang.
Kuping Mas Karyo sudah kebal dengan olok-olok. Hampir setiap hari dia bersama teman-temannya mengolok-olok diri mereka sendiri.

Mas Karyo pernah bilang bahwa pegawai negeri itu termasuk Golongan P9.
“Golongan apa lagi itu,”
”Pergi Pagi Pulang Petang Pendapatan Pas-Pasan Potong Pinjaman.”
”Siwalan lo,” sahut Kasiman. ”Kalau begitu adanya maka kita harus punya prinsip M-13.”
”Nah lo, apalagi tuh ?” Bedur jadi penasaran.
“Madep Mantep Mapan Mangan Melu Morotuwo, Morotuwo Macem-Macem Mantu Minggat Main Maneh”
“Dasar mantu edan lo! “
……
Memang kalau dihitung-hitung dengan mathematika sekolahan rasanya tidak mungkin seorang pegawai biasa seperti Mas Karyo bersama keluarganya dapat hidup layak, cukup sandang cukup pangan. Bisa menyekolahkan anak, punya televisi, komputer, telepon, dsb, dsb. Tapi nyatanya Mas Karyo bisa.
”Jangan-jangan…”
”Apa ?”
“Spanyol. Separuhnya Nyolong”
Telinga Mas Karyo langsung panas. Ingin rasanya meninju bibir si bayangan dalam cermin itu biar jontor. Bayangan dalam cermin itu tersenyum.
”Kamu tersinggung, berarti benar ?”
”Aku tidak sampai sejauh itu.”
”Darimana kalau bukan...”
”Bukan ! Bukan Spanyol. Bukan Separuhnya Nyolong, tau !”

Bayangan dalam cermin itu menggeleng-gelengkan kepala.
”Imposible, tidak mungkin. Tidak mungkin cukup.”
”Nyatanya cukup, tuh”
”Pasti ada sumber lain kalau begitu.”
”Memang ada. Rejeki itu kan bisa datang dari arah mana saja yang tak pernah kita duga”
”Dari luar atau dari dalam ?”
“Ya dari kantor lah !”
“Misalnya apa ?”
“Uang transport…”
“Terus…”
”Uang lembur.”
”Terus...”
”Konsinyasi, tanda tangan rapat, SHU... perjalanan dinas...”

Bayangan dalam cermin itu manggut-manggut. ” Cukup, cukup... aku tahu sekarang, aku tahu. Gaji kamu memang kecil. Seperti kuda lumping, gaji kecil tapi sabetannya banyak”
Mas Karyo tidak marah dikatakan seperti kuda lumping. Dia justru ingin tertawa tapi ditahannya. Bayangan dalam cermin melihat itu. Ia tersenyum lalu berkata: ”tertawalah kamu kalau memang ingin tertawa, jangan ditahan-tahan. Tertawalah kamu sebelum ditertawakan orang lain.

Mas Karyo pun tertawa. Si Bayangan dalam cermin juga ikut tertawa. Mereka berdua tertawa bersama. Entah mentertawakan apa. Yang penting tertawa.

(Cisauk, 2007/2009)

PESUGIHAN DAJAL NUSANTARA

Wangi kembang sebarkan bau melati
Badut-badut menari
Sorong kanan sorong ke kiri
Comot sana comot ke mari

O, negeriku yang gemah ripah loh jinawi ya syurganya para pencuri
barangsiapa siapa tak pandai mencuri
Ia bisa mati berdiri

O, setan dari segala setan
yang sembunyi di gelap kelam hati
yang menguasai jagad kesesatan
yang mencabik-cabik wajah ibu pertiwi

Datanglah kalian
masuklah
menyatu dengan jiwa ragaku

heng wilahong
manjing sira, manjing marang hawa nafsuku
ya hu cak. ya hu cak.
bim salabim abra kadabra
jadilah aku dajal nusantara

seribu topeng melapisi wajahku
seribu jurus tipu daya melekat di lidahku
seribu kamera terpancar di mataku
tanganku tangan seribu pencuri

waspadah

Ragunan, 11.04.05/30.07.09